Wednesday, June 4, 2008

Hukum Membaca Doa Beramai-Ramai?

Edited by: Abu Muhammad Haikal

Ibnu Wahdah meriwayatkan dengan sanad sampai ke Abu Utsman An Nahdi, beliau mengatakan: Salah seorang gabenor yang di angkat oleh Khalifah Umar ibnu Khattab mengirim surat kepada khalifah Umar, isi suratnya “Sesungguhnya di sini terdapat sekelompok orang yang berkumpul lantas memanjatkan doa kebaikan untuk kaum muslimin secara umum dan penguasa secara khusus.” Balasan surat daripada Khalifah Umar: “Hendaklah engkau menghadapku serta membawa mereka” Setelah gabenor tersebut tiba, khalifah Umar berpesan kepada penjaga rumah beliau untuk menyiapkan rotan, tatkala mereka menemui khalifah Umar, beliau memukul pimpinan kelompok tersebut. Pimpinan kelompok tersebut berkata, “Wahai amirul mu’minin kami bukanlah orang-orang yang di maksud oleh gabenor tersebut, yang dimaksudkan oleh gabenor adalah sekelompok orang yang berasal dari daerah timur.” (Maa jaa fii bida’ karya Ibnu Wahdah hal 54 & Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf 8/558 dan sanadnya berdarjat hasan. Lihat Adz Dzikir Al Jama’i baina Al-Ittiba’ wal Ibtida’ karya Dr. Muhammad bin Abdurrahman Al Khumais hal 29).

Dalam hal 16 Dr. Al Khumais berkata, “Termasuk bentuk zikir jama’i yang ada saat ini adalah berkumpulnya ramai orang di suatu masjid kerana negeri tersebut telah terjadi bencana. Mereka lalu berdoa kepada Allah secara seremtak agar bencana segera berakhir.” Pada akhir pembahasan di hal 54, Dr Muhammad Al Khumais mengatakan, “Jelaslah bahawa zikir jamaah itu tidak memiliki dasar dalam agama Allah, kerana tidak ada riwayat yang menjelaskan bahawa Nabi saw dan para sahabat berzikir dengan berjamaah.” Hal tersebut juga tidak dilakukan oleh salafus shalih bahkan mereka mengingkari orang yang melakukannya.

Tentang hal ini pernah ada orang bertanya kepada Imam Ahmad, “Apakah anda tidak menyukai jika ada sekelompok orang berkumpul untuk berdoa sambil mengangkat tangan?” Jawapan beliau “aku tidak membencinya asalkan berkumpulnya itu tidak dengan sengaja, kecuali mereka berjumlah ramai” (Iqtidha Ash Shirathal Mustaqim 2/630 & Al Amru bittiba’ hal 180. Lihat Qowaid Ma’rifati Bida’ hal 52).

Boleh kita simpulkan dari perkataan Imam Ahmad di atas bahawa doa berjamaah itu di perbolehkan dengan dua persyaratan:

1. Tidak sengaja berkumpul untuk hal tersebut,

2. Orang yang hadir tidak berjumlah besar sehingga orang-orang awam yang mengikutinya mengira bahawa amal ini memiliki keutamaan yang bersifat khusus.

Tuesday, June 3, 2008

Dan Aku pun Dituduh Wahabi…

edited by: Abu Muhammad Haikal

Seiring dengan perjalanan kedewasaan menuju proses kematangan diri, terlebih lagi pemikiran, gairah untuk mencari ilmu yang shahih, lebih suka mengenal agama Islam dari sumber-sumbernya yang asli, menjadi semakin tinggi. Perkenalan tanpa sengaja dengan manhaj salaf bagaikan seolah-olah mencuci otak, memutarbalikkan pemahaman hingga apa yang tersisa dari pemahaman terdahulu hampir tak berarti.

Sebenarnya bukanlah hal yang aneh, jika gairah itu kemudian timbul. Ketidakmampuan diri dalam mengelola dan memecahkan persoalan hidup secara memuaskan membuat agama yang semula menjadi pelarian untuk menenangkan diri, justru terbukti menjadi sumber mata air jernih menghilangkan dahaga. Itulah solusinya, pemahaman yang benar untuk menuju keseimbangan hidup sebagaimana manusia diciptakan diatas fitrahnya.

Satu hal yang menjadi kejayaan dari proses ini adalah sebuah perubahan nyata. Perubahan yang sangat mungkin – bahkan terbukti – banyak menyelisihi kebiasaan yang berlaku di tengah-tengah masyarakat. Meskipun perbedaan itu dalam tahap tertentu masih dapat ditoleransi, namun pada saat-saat lain ada hal-hal asas yang membuat gerah dan menimbulkan keinginan kuat untuk merubahnya,

Perbincangan dengan seorang sahabat dalam persoalan kehidupan beragama menimbulkan sebuah pandangan yang mengejutkan, “Dasar Wahabi!” Meskipun kata-kata itu diucapkan dengan nada bergurau namun pernyataan itu membekas dalam hati. Benarkah aku seorang Wahabi?

Sejauh ini pengenalan akan seorang Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab – dimana orang-orang yang mengikutinya dalam beberapa sudut dinisbatkan kepada namanya menjadi Wahabi – teramat sangat tuduhan itu. Proses pembelajaran yang selama ini dilalui dan yang pemikirannya banyak mempengaruhi dan merubah alur berpikir, yang mendorong untuk terus mempelajari agama ini dari sumbernya yang asli, Al Qur’an dan As Sunnah menurut pemahaman para sahabat, adalah seorang tokoh besar Ibnu Qayyim al Jauziyah, salah seorang murid terbaik ulama besar Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dan bukannya Syaikh Muhammad bin Abdul wahab.

Lalu apakah karena alur pemikiran yang sejalan, orang juga akan mengatakan bahwa Ibnu Qayyim dan gurunya Ibnu Taimiyah – yang hidup jauh sebelum syaikh Muhammad bin Abdul Wahab – adalah pengikut Wahabi?

Baru kemudian teringat perbincangan dengan seorang teman yang lain, dan memang itulah yang dituduhkan kepada Ibnu Taimiyah, bahwa beliau ada seorang wahabi!

Sungguh aneh, bahkan sangat lucu. – jika tidak ingin dikatakan bodoh - Ibnu Taimiyah yang lahir tahun 661 H – 728 H dituduh sebagai wahabi, dengan kata lain sebagai pengikut Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab yang lahir jauh sesudahnya yaitu pada tahun 1115 H?. Siapa yang mengikuti dan siapa yang diikuti? Dengan menggunakan logik berpikir yang paling sederhana pun tuduhan itu akan terlihat sangat menggelikan!

Terlepas dari perdebatan berkisar siapa mengikuti siapa, ada rasa penasaran yang mendorong untuk ingin lebih tahu secara mendalam, siapa sebenarnya seorang Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab. Para ulama berkata, kenalilah seseorang melalui tulisannya. Dan itulah yang saya lakukan, mulai mencari tulisan-tulisan beliau, mencari tahu dimana letak penghinaan menakutkan yang membuat orang begitu alergi terhadap beliau.

Adalah Kitab Tahuid, beliau, dan kemudian disyarah oleh Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alu Asy-Syaikh, kitab Tiga Landasan Utama yang disyarah oleh Syaikh Utsaimin, serta Menyingkap Argumen Penyimpangan Tauhid, yang seluruhnya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu / Indonesia.

Komentar… ? Subhanallah!

Jika tuduhan wahabi dilekatkan kepada mereka yang membenci pengangungan kuburan, termasuk kuburan orang-orang shalih, maka aku adalah seorang wahabi!

Jika label wahabi dilekatkan kepada mereka yang berdakwah untuk memurnikan tauhid, seperti firman Allah : ”Dan orang-orang yang tidak mempersekutukan dengan Tuhan mereka (sesuatu apapun“ (QS Al Mu’minuun : 59), maka aku adalah seorang wahabi!

Jika istilah wahabi disandarkan kepada mereka yang mengharamkan berdo’a kepada selain Allah mengikuti firmanNya : ”Dan janganlah kamu berdo’a kepada selain Allah, yang tidak memberi manfaat dan tidak (pula) memberi mudharat kepadamu selain Allah; sebab jika kamu berbuat (yang demikian), itu, maka sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zalim.” (QS Yunus : 106) , maka aku ada seorang wahabi!

Jika seorang wahabi adalah mereka yang selalu berusaha menjauhkan segala macam kesyirikan sebagaimana firman Allah , ”Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.“ (QS An Nisa : 48), maka aku adalah seorang wahabi!

Jika sebutan wahabi dinisbatkan kepada mereka yang percaya bahwa Nabi Muhammad SAW tidak dapat memberikan syafaat melainkan dengan seizin Allah SWT sebagaimana firmanNya, ”Katakanlah: (hai Muhmmad) “Hanya kepunyaan Allah lah syafaat itu semuanya..“ (QS Az Zumar : 44) dan firmanNya : ,“ Tiada yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya.“ (QS Al Baqarah : 255), ataupun firmanNy, ”Dan tiadalah berguna syafa’at di sisi Allah melainkan bagi orang yang telah diizinkan-Nya memperoleh syafa’at itu..“ (QS Saba : 23), maka aku adalah seorang wahabi!

Jika tuduhan wahabi dilontarkan kepada mereka yang mengharamkan segala jenis pengagungan atau keberkahan benda-benda dan tempat-tempat keramat, azimat, guna-guna termasuk segala ritual yang terkait dengannya, maka aku adalah seorang wahabi!

Jika tudingan wahabi ditujukan kepada mereka yang berusaha mengenal Allah, agama Islam dan Nabi Muhammad SAW dengan lebih baik dan mendalam seprti yang dituliskan dalam kitab Utsuluts Tsalasah (3 Landasan Utama), maka aku adalah seorang wahabi!

Dan masih ada banyak jika semisalnya yang dinisbatkan kepada mereka yang dianggap wahabi, yang secara menyeluruh berupaya memurnikan kalimat tauhid laa ilaaha illallah beserta segala aspek yang berkait dengannya berikut kebenaranya, maka alhamdulillah, saksikanlah aku telah menjadi seorang wahabi!

Sungguh yang perlu dipertanyakan kepada mereka yang berpandangan ”serong” dan cenderung meremehkan ketika memberi chop kepada seseorang sebagai wahabi, kerana menolak majlis kenduri arwah atau semisalnya sepertimana perkataan Ulamak:

1. Perkataan Al Imam Asy Syafi'I, yakni seorang imamnya para ulama', mujtahid mutlak, lautan ilmu, pembela sunnah dan yang khususnya di Indonesia ini banyak yang mengaku bermadzhab beliau, telah berkata dalam kitabnya Al Um (I/318) : " Aku benci al ma'tam yaitu berkumpul-kumpul dirumah ahli mayit meskipun tidak ada tangisan, karena sesungguhnya yang demikian itu akan memperbaharui kesedihan ." (*)

(*) : ini yang biasa terjadi dan Imam Syafi'I menerangkan menurut kebiasaan yaitu akan memperbaharui kesedihan. Ini tidak berarti kalau tidak sedih boleh dilakukan. Sama sekali tidak !

Perkataan Imam Syafi'I diatas tidak menerima pemahaman terbalik atau mafhum mukhalafah.

Perkataan imam kita diatas jelas sekali yang tidak dapat dita'wil atau di Tafsirkan kepada arti dan makna lain kecuali bahwa : " beliau dengan tegas Mengharamkan berkumpul-kumpul dirumah keluarga/ahli mayit. Ini baru berkumpul saja, bagaimana kalau disertai dengan apa yang kita namakan disini sebagai Tahlilan ?"

2. Perkataan Al Imam Ibnu Qudamah, dikitabnya Al Mughni ( Juz 3 halaman 496-497 cetakan baru ditahqiq oleh Syaikh Abdullah bin Abdul Muhsin At Turki ) :

" Adapun ahli mayit membuatkan makanan untuk orang banyak maka itu satu hal yang dibenci ( haram ). Karena akan menambah kesusahan diatas musibah mereka dan menyibukkan mereka diatas kesibukan mereka dan menyerupai perbuatan orang-orang jahiliyyah. Dan telah diriwayatkan bahwasannya Jarir pernah bertamu kepada Umar. Lalu Umar bertanya, " Apakah mayit kamu diratapi ?" Jawab Jarir, " Tidak !" Umar bertanya lagi, " Apakah mereka berkumpul di rumah ahli mayit dan mereka membuat makanan ? Jawab Jarir, " Ya !" Berkata Umar, " Itulah ratapan !"

3. Perkataan Syaikh Ahmad Abdurrahman Al Banna, dikitabnya : Fathurrabbani Tartib Musnad Imam Ahmad bin Hambal ( 8/95-96) :

" Telah sepakat imam yang empat ( Abu Hanifah, Malik, Syafi'I dan Ahmad ) atas tidak disukainya ahli mayit membuat makanan untuk orang banyak yang mana mereka berkumpul disitu berdalil dengan hadits Jarir bin Abdullah. Dan zhahirnya adalah HARAM karena meratapi mayit hukumnya haram, sedangkan para Shahabat telah memasukkannya ( yakni berkumpul-kumpuldirumah ahli mayit ) bagian dari meratap dan dia itu (jelas) haram. Dan diantara faedah hadits Jarir ialah tidak diperbolehkannya berkumpul-kumpul dirumah ahli mayit dengan alas an ta'ziyah /melayat sebagaimana dikerjakan orang sekarang ini. Telah berkata An Nawawi rahimahullah, 'Adapun duduk-duduk (dirumah ahli mayit ) dengan alas an untuk Ta'ziyah telah dijelaskan oleh Imam Syafi'I dan pengarang kitab Al Muhadzdzab dan kawan-kawan semadzhab atas dibencinya ( perbuatan tersebut ).' Kemudian Nawawi menjelaskan lagi, " Telah berkata pengarang kitab Al Muhadzdzab : Dibenci duduk-duduk ( ditempat ahli mayit ) dengan alas an untuk Ta'ziyah. Karena sesungguhnya yang demikian itu adalah muhdats ( hal yang baru yang tidak ada keterangan dari Agama), sedang muhdats adalah " Bid'ah."

4. Perkataan Al Imam An Nawawi, dikitabnya Al Majmu' Syarah Muhadzdzab (5/319-320) telah menjelaskan tentang Bid'ahnya berkumpul-kumpul dan makan-makan dirumah ahli mayit dengan membawakan perkataan penulis kitab Asy Syaamil dan ulama lainnya dan beliau menyetujuinya berdalil dengan hadits Jarir yang beliau tegaskan sanadnya shahih.

5. Perkataan Al Imam Asy Syairazi, dikitabnya Muhadzdzab yang kemudian disyarahkan oleh Imam Nawawi dengan nama Al Majmu' Syarah Muhadzdzab : " Tidak disukai /dibenci duduk-duduk ( ditempat ahli mayit ) dengan alasan untuk Ta'ziyah karena sesungguhnya yang demikian itu muhdats sedangkan muhdats adalah " Bid'ah ".

6. Perkataan Al Imam Ibnul Humam Al Hanafi, dikitabnya Fathul Qadir (2/142) dengan tegas dan terang menyatakan bahwa perbuatan tersebut adalah " Bid'ah yang jelek ". Beliau berdalil dengan hadits Jarir yang

beliau katakan shahih.

7. Perkataan Al Imam Ibnul Qayyim, dikitabnya Zaadul Ma'aad (I/527-528) menegaskan bahwa berkumpul-kumpul ( dirumah ahli mayit )dengan alasan untuk ta'ziyah dan membacakan Qur'an untuk mayit adalah " Bid'ah " yang tidak ada petunjuknya dari Nabi SAW.

8. Perkataan Al Imam Asy Syaukani, dikitabnya Nailul Authar (4/148) menegaskan bahwa hal tersebut menyalahi sunnah.

9. Perkataan Al Imam Ahmad bin Hambal, ketika ditanya tentang masalah ini beliau menjawab : " Dibuatkan makanan untuk mereka (ahli mayit ) dan tidaklah mereka (ahli mayit ) membuatkan makanan untuk para penta'ziyah." (Masaa-il Imam Ahmad bin Hambal oleh Imam Abu Dawud hal. 139 )

10. Perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, " Disukai membuatkan makanan untuk ahli mayit dan mengirimnya kepada mereka. Akan tetapi tidak disukai mereka membuat makanan untuk para penta'ziyah. Demikian menurut madzhab Ahmad dan lain-lain." ( Al Ikhtiyaaraat Fiqhiyyah hal.93 ).

11. Perkataan Al Imam Al Ghazali, dikitabnya Al Wajiz Fighi Al Imam Asy Syafi'I ( I/79), " Disukai membuatkan makanan untuk ahli mayit."

Alangkah ramainya pengekor Wahabi?. Demi kerana menuruti perkataan Imam-Imam maka saksikanlah aku telah menjadi salah seorang wahabi! bersama –sama mereka.

Wallahu a’lam

Monday, May 19, 2008

Salam perkenalan


Masjid Kg. Tok Bok, Machang Kelantan