Friday, February 27, 2009

Hamil diluar nikah dan masaalah nasab anak 4/4

[5]. Kejadian Yang Kelima : Apabila seorang perempuan berzina kemudian dia hamil, maka bolehkan dia dinikahi oleh laki-laki yang tidak menghamilinya? Dan kepada siapakah dinasabkan anaknya?

Jawabannya ; Dalam hal ini para ulama kita telah berselisih menjadi dua madzhab. Madzhab yang pertama mengatakan boleh dan halal dinikahi dengan alasan bahwa perempuan tersebut hamil karena zina bukan dari hasil nikah. Sebagaimana kita ketahui bahwa syara’ (agama) tidak menganggap sama sekali anak yang lahir dari hasil zina seperti terputusnya nasab dan lain-lain sebagaimana beberapa kali kami jelaskan di muka. Oleh karena itu halal baginya menikahinya dan menyetubuhinya tanpa harus menunggu perempuan tersebut melahirkan anaknya.

Inilah yang menjadi madzhabnya Imam Syafi’iy dan Imam Abu Hanifah. Hanya saja Abu Hanifah mensyaratkan tidak boleh disetubuhi sampai perempuan tersebut melahirkan.

Adapun madzhab kedua mengatakan haram dinikahi sampai perempuan tersebut melahirkan, beralasan kepada beberapa hadits.

Hadits Pertama.
“Artinya : Dri Abu Darda dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau pernah melewati seorang perempuan [29] yang sedang hamil tua sudah dekat waktu melahirkan di muka pintu sebuah kemah. Lalu beliau bersabda, “Barangkali dia [30] (yakni laki-laki yang memiliki tawanan [31] tersebut) mau menyetubuhinya!?”. Jawab mereka, “Ya”. Maka bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya aku berkeinginan untuk melaknatnya dengan satu laknat yang akan masuk bersamanya ke dalam kuburnya [32] bagaimana dia mewarisinya padahal dia tidak halal baginya, bagaimana dia menjadikannya sebagai budak padahal dia tidak halal baginya!?” [33]
[Hadits Shahih riwayat Muslim 4/161]

Hadits Kedua
“Artinya : Dari Abu Said Al-khudriy dan dia memarfu’kannya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang tawanan-tawanan perang Authaas [34], “Janganlah disetubuhi perempuan yang hamil sampai dia melahirkan dan yang tidak hamil sampai satu kali haid”
[Hadits riwayat Abu Dawud (no.2157), Ahmad (3/28, 62, 87) dan Ad-Darimi (2/171)]

Hadits Ketiga
“Artinya : Dari Ruwaifi Al-Anshariy –ia berdiri di hadapan kita berkhotbah-, ia berkata : Adapaun sesungguhnya aku tidak mengatakan kepada kamu kecuali apa-apa yang aku dengan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata pada hari Hunain, beliau bersabda, “Tidak halal bagi seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk menyiramkan air (mani)nya ke tanaman [35] orang lain –yakni menyetubuhi perempuan hamil- [36] Dan tidak halal bagi seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk menyetubuhi perempuan dari tawanan perang sampai perempuan itu bersih. Dan tidak halal bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk mejual harta rampasan perang sampai dibagikan. Dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah dia menaiki kendaraan dari harta fa’i [37] kaum muslimin sehingga apabila binatang tersebut telah lemah ia baru mengembalikannya. Dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah ia memakai pakaian dari harta fa’i kaum muslimin sehingga apabila pakaian tersebut telah rusak ia baru megembalikannya”
[Dikeluarkan oleh Abu Dawud (no. 2158 dan 2150) dan Ahmad (4/108-109) dengan sanad Hasan]

Dan Imam Tirmidzi (no. 1131) meriwayatkan juga hadits ini dari jalan yang lain dengan ringkas hanya pada bagian pertama saja dengan lafadz.

“Artinya : Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah dia menyiramkan air (mani)nya ke anak orang lain (ke anak yang sedang dikandung oleh perempuan yang hamil oleh orang lain)”.

Inilah yang menjadi madzhabnya Imam Ahmad dan Imam Malik. Dan madzhab yang kedua ini lebih kuat dari madzhab yang pertama dan lebih mendekati kebenaran. Wallahu a’lam.

Adapun masalah nasab anak dia dinasabkan kepada ibunya tidak kepada laki-laki yang menzinai dan menghamili ibunya dan tidak juga kepada laki-laki yang menikahi ibunya setelah ibunya melahirkannya. Atau dengan kata lain dan tegasnya anak yang lahir itu adalah anak zina!

Bacalah dua masalah di kejadian yang ke lima ini di kitab-kitab.
[1]. Al-Mughni Ibnu Qudamah Juz 9 hal. 561 s/d 565 tahqiq Doktor Abdullah bn Abdul Muhsin At-Turkiy.
[2]. Al-Majmu Syarah Muhadzdzab Juz 15 hal. 30-31
[3]. Al-Ankihatul Faasidah (hal. 255-256])
[4]. Fatawa Al-Islamiyyah Juz 2 halaman 353-354 dan 374-375 oleh Syaikh bin Baaz dan Syaikh Utsaimin dan lain-lain.

[6]. Kejadian Yang Keenam : Apabila terjadi akad nikah yang fasid (rusak) atau batil
Apabila terjadi akad nikah yang fasid (rusak) atau batil yaitu setiap akad nikah yang telah diharamkan syara’ (agama) atau hilang salah satu dari rukunnya sehingga akad nikah tersebut tidak sah seperti ;
1). Nikah dengan mahram [38]
2). Nikah dengan ibu susu atau saudara sepersusuan
3). Nikah dengan istri bapak atau istri anak atau mertua atau dengan anak tiri
4). Nikah mu’tah
5). Nikah lebih dari empat orang istri
6). Nikah dengan istri orang lain
7). Nikah dengan perempuan yang sedang ‘iddah
8). Nikah seorang muslim dengan wanita selain dari wanita ahlul kitab (Yahudi dan Nashara)
9). Nikah tanpa wali
10). Nikah sir (rahasia) tanpa saksi
11). Mengumpulkan dua orang bersaudara dalam satu perkawinan
12). Mengumpulkan seorang perempuan dengan bibinya dalam satu perkawinan

Dan lain-lain dari perkawinan yang rusak menurut agama. [39]

Maka apabila keduanya tidak mengetahui fasid dan batilnya akad keduanya, maka keduanya tidak berdosa dan tidak dikenakan hukuman dan anak dinasabkan kepada bapaknya seperti pernikahan yang sah meskipun keduanya langsung dipisahkan karena fasidnya akad keduanya. Dan disamakan dengan orang yang tidak mengetahui yaitu orang yang mendapat fatwa tentang sahnya nikah yang fasid dan batil tersebut sebagaimana banyak terjadi pada zaman kita sekarang ini khususnya mengenai nikah mut’ahnya kaum Syi’ah rafidhah [40]. Adapun apabila mereka telah mengetahui tentang fasid dan batilnya akad nikah tersebut, maka tidak syak lagi tentang dosanya dan wajib bagi mereka dikenakan hukuman kemudian anak tidak dinasabkan kepada bapaknya.

Masalah : Bagaimana hukumnya apabila yang mengetahui tentang haramnya perkawinan tersebut hanya salah satu pihak, imam pihak laki-laki atau pihak perempuan?.

Jawabanya : Maka hukumnya terkena kepada yang mengetahui tidak kepada yang tidak mengetahui. Kalau yang mengetahui hukumnya itu pihak laki-laki, maka dia berdosa dan dikenakan hukuman dan anak tidak dinasabkan kepadanya. Kalau yang mengetahui hukumnya itu pihak perempuan, maka dia yang berdosa dan dikenakan hukuman kepadanya dan anak tetap dinasabkan kepada bapaknya (pihak laki-laki). Wallahu a’lam.

[Disalin dari kitab Menanti Buah Hati Dan Hadiah Untuk Yang Dinanti, Penulis Abdul Hakim bin Amir Abdat, Penerbit Darul Qolam Jakarta, Cetakan I – Th 1423H/2002M]
__________
Foote Note
[29].Perempuan ini adalah seorang tawanan perang yang tertawan dalam keadaan hamil tua.
[30]. Disini ada lafadz yang hilang yang takdirnya beliau bertanya tentang perempuan tersebut dan dijawab bahwa perempuan tersebut adalah tawanan si Fulan.
[31]. Hadits yang mulia ini salah satu dalil dari sekian banyak dalil tentang halalnya menyetubuhi tawanan perang meskipun tidak dinikahi. Karena dengan menjadi tawanan dia menjadi milik orang yang menawannya atau milik orang yang diberi bagian dari hasil ghanimah (rampasan perang) meskipun dia masih menjadi istri orang (baca ; orang kafir). Maka dengan menjadi tawanan fasakhlah (putuslah) nikahnya dengan suaminya. (Baca Syarah Muslim Juz 10. hal.34-36).
[32]. Hadits yang mulia ini pun menjadi dalil tentang haramnya menyetubuhi tawanan perang yang hamil sampai selesai iddahnya yaitu sampai ia melahirkan dan yang tidak hamil ber’iddah satu kali haid sebagaimana ditunjuki oleh hadits yang kedua insya Allah.
Berdasarkan hadits yang mulia ini madzhab yang kedua mengeluarkan hukum tentang haramnya menikahi dan menyetubuhi perempuan yang hamil oleh orang lain sampai ia melahirkan.
[33]. Sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Bagaimana dia mewarisinya … dan seterusnya”, yakni bagaimana mungkin laki-laki itu mewarisi anak yang dikandung oleh perempuan tersebut padahal anak itu bukan anaknya. Dan bagaimana mungkin dia menjadikan anaknya itu sebagai budaknya padahal anak itu bukan anaknya. Wallahu a’lam.
[34]. Authaas adalah satu tempat di Thaif
[35]. Ke rahim orang lain yang telah membuahkan anak
[36]. Penjelasan ini imma dari Ruwaifi atau dari yang selainnya
[37]. Harta fa-i harta yang didapat oleh kaum muslimin dari orang-orang kafir tanpa peperangan. Akan tetapi imam kaum kuffar menyerah sebelum berperang atau mereka melarikan diri meninggalkan harta-harta mereka.
[38]. Mahram ialah setiap perempuan yang haram dinikahi seperti ibu, saudara, anak, bibi, dan lain-lain.
[39]. Baca Al-Ankihatul Faasidah
[40]. Bacalah risalah kami tentang masalah ini dengan judul Nikah Mut’ah = Zina

Hamil diluar nikah dan masaalah nasab anak 3/4

[4]. Kejadian Yang Keempat : Apabila seorang perempuan berzina kemudian hamil, bolehkah ia dinikahi oleh laki-laki yang menghamilinya dan kepada siapa dinasabkan anaknya?

Jawabannya : Boleh dia dinikahi oleh laki-laki yang menzinainya dan menghamilinya dengan kesepakatan (ijma) para ahli fatwa sebagaimana ditegaskan oleh Imam Ibnu Abdil Bar yang dinukil oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar di kitabnya Fathul Baari (Juz 9 hal. 157 di bagian kitab nikah bab 24 hadits 5105) [17]. Untuk lebih jelasnya lagi marilah kita ikuti fatwa para ulama satu persatu dari para shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan seterusnya.

Pertama : Fatwa Abu Bakar Ash-Shiddiq
Berkata Ibnu Umar : Ketika Abu Bakar Ash-Shiddiq sedang berada di masjid tiba-tiba datang seorang laki-laki, lalu Abu Bakar berkata kepada Umar, “Berdirilah dan perhatikanlah urusannya karena sesungguhnya dia mempunyai urusan (penting)” Lalu Umar berdiri menghampirinya, kemudian laki-laki itu menerangkan urusannya kepada Umar, “Sesungguhnya aku kedatangan seorang tamu, lalu dia berzina dengan anak perempuanku!?” Lalu Umar memukul dada orang tersebut dan berkata, “Semoga Allah memburukkanmu! Tidakkah engkau tutup saja (rahasia zina) atas anak perempuan itu!”

Kemudian Abu Bakar memerintahkan agar dilaksanakan hukum had (didera sebanyak seratus kali) terhadap keduanya (laki-laki dan perempuan yang berzina). Kemudian beliau menikahkan keduanya lalu beliau memerintahkan agar keduanya diasingkan selama satu tahun. [Diriwayatkan oleh Imam Ibnu Hazm di kitabnya Al-Muhalla juz 9 hal. 476 dan Imam Baihaqiy di kitabnya Sunanul Kubro juz 8 hal. 223 dari jalan Ibnu Umar) [18]

Kedua : Fatwa Umar bin Khaththab
Fatwa Abu Bakar di atas sekaligus menjadi fatwa Umar bahkan fatwa para shahabat. Ini disebabkan bahwa fatwa dan keputusan Abu Bakar terjadi di hadapan para shahabat [19] atau diketahui oleh mereka khususnya Umar. Dan semua para shahabat diam menyetujuinya dan tidak ada seorang pun di antara mereka yang mengingkari fatwa tersebut. Semua ini menunjukkan telah terjadi ijma di antara para shahabat bahwa perempuan yang berzina kemudian hamil boleh bahkan harus dinikahkan dengan laki-laki yang menzinainya dan menghamilinya. Oleh karena itu kita melihat para shahabat berfatwa seperti di atas di antaranya Umar bin Khaththab ketika beliau menjadi khalifah sebagaimana riwayat di bawah ini.

Berkata Abu Yazid Al-Makkiy, “Bahwasanya ada seorang laki-laki nikah dengan seorang perempuan. Dan perempuan itu mempunyai seorang anak gadis yang bukan (anak kandung) dari laki-laki (yang baru nikah dengannya) dan laki-laki itupun mempunyai seorang anak laki-laki yang bukan (anak kandung) dari perempuan tersebut (yakni masing-masing membawa seorang anak, yang laki-laki membawa anak laki-laki dan yang perempuan membawa anak gadis). Lalu pemuda dan anak gadis tersebut melakukan zina sehingga nampaklah pada diri gadis itu kehamilan. Maka tatkala Umar datang ke Makkah diangkatlah kejadian itu kepada beliau. Lalu Umar bertanya kepada keduanya dan keduanya mengakui (telah berbuat zina). Kemudian Umar memerintahkan mendera keduanya (dilaksanakan hukum had) [20]. Dan Umar sangat ingin mengumpulkan di antara keduanya (dalam satu perkawinan) akan tetapi anak muda itu tidak mau” [Dikeluarkan oleh Imam Baihaqiy (7/155) dengan sanad yang shahih]

Ketiga : Fatwa Abdullah bin Mas’ud
Dari Hammam bin Harits bin Qais bin Amr An-Nakha’i Al-Kufiy.
“Artinya : Dari Hammaam bin Harits bin Qais bin Amr An-Nakha’i Al-Kufiy dari Abdullah bin Mas’ud tentang, “Seorang anak laki-laki yang berzina dengan seorang perempuan kemudian laki-laki itu hendak menikahi perempuan tersebut?” Jawab Ibnu Mas’ud, “Tidak mengapa yang demikian itu” [Dikeluarkan oleh Imam Baihaqiy (7/156) secara mu’allaq dengan sanad yang shahih]

Dari Al-Qamah bin Qais (ia berkata) : Sesungguhnya telah datang seorang laki-laki kepada Ibnu Mas’ud, lalu laki-laki itu bertanya, “Seorang laki-laki berzina dengan seorang perempuan kemudian keduanya bertaubat dan berbuat kebaikan, apakah boleh laki-laki itu kawin dengan perempuan tersebut? “ Kemudian Ibnu Mas’ud membaca ayat ini.

“Artinya : Kemudian sesungguhnya Rabb-mu kepada orang-orang yang mengerjakan kejahatan dengan kebodohan [21], kemudian sesudah itu mereka bertaubat dan mereka berbuat kebaikan, sesungguhnya Rabb-mu sesudah itu Maha Pengampun (dan) Maha Penyayang” [An-Nahl : 119]

Berkata Al-Qamah bin Qais, “Kemudian Ibnu Mas’ud mengulang-ulang ayat tersebut berkali-kali sampai orang yang bertanya itu yakin bahwa Ibnu Mas’ud telah memberikan keringanan dalam masalah ini (yakni beliau membolehkannya)”. [Dikeluarkan oleh Imam Baihaqiy (7/156). Kemudian Imam Baihaqiy (7/156) juga meriwayatkan dari jalan yang lain yang semakna dengna riwayat di atas akan tetapi di riwayat ini Ibnu Mas’ud membaca ayat): [22]

“Artinya : Dan Dialah (Allah) yang menerima taubat dari hamba-hambaNya dan memaafkan dari kesalahan-kesalahan (mereka) dan Dia mengetahui apa-apa yang kamu kerjakan” [Asy-Syura : 25] [23]

Dalam sebagian riwayat ini terdapat tambahan : Setelah Ibnu Mas’ud membaca ayat di atas beliau berkata, “Hendaklah menikahinya!”.

Keempat : Fatwa Ibnu Umar.
Ibnu Umar pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang berzina dengan seorang perempuan, apakah boleh dia menikahinya ? Jawab Ibnu Umar, “Jika keduanya bertaubat dan keduanya berbuat kebaikan (yakni beramal shalih)” [Dikeluarkan oleh Imam Ibnu Hazm di Al-Muhalla juz 9 hal. 475.

Kelima : Fatwa Jabir bin Abdullah
Berkata Jabir bin Abdullah, “Apabila keduanya bertaubat dan keduanya berbuat kebaikan, maka tidak mengapa (tidak salah dilangsungkan pernikahan di antara keduanya) –yakni tentang laki-laki yang berzina dengan seorang perempuan kemudian dia ingin menikahinya-“ [Dikeluarkan oleh Ibnu Hazm (9/475), dikeluarkan juga oleh Imam Abdurrazzaq (7/202) yang semakna dengan riwayat di atas]

Keenam : Fatwa Ibnu Abbas
Berkata Ubaidullah bin Abi Yazid , “Aku pernah bertanya kepada Ibnu Abbas tentang seorang laki-laki yang berzina dengan seorang perempuan bolehkah dia menikahinya ?” Jawab beliau, “Ya”, karena (nikah itu) perbuatan halal” [Dikeluarkan oleh Baihaqiy (7/155) dengan sanad yang shahih] [24]

Dari Ikrimah dari Ibnu Abbas : Tentang seorang laki-laki yang berzina dengan seorang perempuan kemudian sesudah itu dia menikahinya ? Beliau berkata, “Yang pertama itu zina sedangkan yang terakhir nikah dan yang pertama itu haram sedangkan yang terakhir halal” [Dikeluarkan Baihaqiy (7/155) [25] Dan dalam riwayat yang lain juga dari jalan Ikrimah ada tambahan, “Tidak salah (yakni menikahinya)]

Berkata Said bin Jubair : Ibnu Abbas pernah ditanya tentang seorang laki-laki dan seorang perempuan yang masing-masing dari keduanya telah menyentuh yang lain dengan cara yang haram (yakni keduanya telah berzina), kemudian nyatalah (kehamilan) bagi perempuan tersebut lalu laki-laki itu menikahinya? Jawab Ibnu Abbas : “Yang pertama itu zina sedangkan yang kedua nikah” [Dikeluarkan oleh Imam Baihaqiy (3/267 dengan sanad yang hasan)]

Berkata Atha bin Abi Rabah : Berkata Ibnu Abbas tentang laki-laki yang berzina dengan seorang perempuan, kemudian dia menikahinya, “Yang pertama dari urusannya itu adalah zina, sedangkan yang terakhir nikah” [Dikeluarkan Abdul Razzaq 7/202]

Dari Thawus, ia berkata : Diriwayatkan kepada Ibnu Abbas, “Seorang laki-laki menyentuh perempuan dengan cara yang haram (yakni zina), kemudian dia menikahinya?” Jawab beliau, “itu baik –atau beliau mengatakannya- itu lebih bagus” [Dikeluarkan Abdurrazzaq 7/203]

Demikian juga fatwa para Tabi’in seperti Said bin Musayyab, Said bin Jubair, Az-Zuhri dan Hasan Al-Bashri dan lain-lain Ulama. [Baihaqiy 7/155 dan Abdurrazzaq 7/203-207]

Dari keterangan-keterangan di atas kita mengetahui:
Pertama : Telah terjadi ijma Ulama yang didahului oleh ijmanya para shahabat tentang masalah bolehnya perempuan yang berzina kemudian hamil dinikahi oleh laki-laki yang menzinai dan menghamilinya.

Kedua : Mereka pun memberikan syarat agar keduanya bertaubat dan berbuat kebaikan (beramal shalih) dengan menyesal dan membenci perbuatan keduanya.

Adapun mengenai hukuman bagi yang berzina (hukum had) yang melaksanakannya adalah pemerintah bukan orang perorang atau kelompok perkelompok. Oleh karena di negeri kita ini sebagaimana negeri-negeri Islam yang lainnya kecuali Saudi Arabia tidak dilaksanakan hukum-hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala seperti hukum had dan lain-lain, ini tidak menghalangi taubatnya orang yang mau bertaubat demikian juga nikahnya dua orang yang berzina. Cukuplah bagi keduanya bertaubat dan beramal shalih. Langsungkanlah pernikahan karena yang demikian itu sangat bagus sekali sebagaimana dikatakan Ibnu Abbas. Bahkan laki-laki yang menzinai dan menghamili seorang perempuan lebih berhak terhadap perempuan tersebut sebelum orang lain [26] dengan syarat keduanya mau dan ridha untuk nikah. Apabila salah satunya tidak mau maka janganlah dipaksa hatta perempuan tersebut telah hamil [27]. Ini, kemudian pertanyaan yang kedua kepada siapakah anak tersebut dinasabkan?

Jawabnya : Anak tersebut dinasabkan kepada ibunya bukan kepada laki-laki yang menzinai dan menghamili ibunya (bapak zinanya) walaupun akhirnya laki-laki itu menikahi ibunya dengan sah. Dan di dalam kasus seperti ini –di mana perempuan yang berzina itu kemudian hamil lalu dinikahi laki-laki yang menzinai dan menghamilinya- tidak dapat dimasukkan ke dalam keumuman hadits yang lalu yaitu : “Anak itu haknya (laki-laki) yang memiliki tempat tidur (suami yang sah) dan bagi yang berrzina tidak mempunyai hal apapun (atas anak tersebut)”. Ini disebabkan karena laki-laki itu menikahi perempuan yang dia zinai dan dia hamili setelah perempuan itu hamil bukan sebelumnya, meskipun demikian laki-laki itu tetap dikatakan sebagai bapak dari anak itu apabila dilihat bahwa anak tersebut tercipta dengan sebab air maninya akan tetapi dari hasil zina. Karena hasil zina inilah maka anak tersebut dikatakan sebagai anak zina yang bapaknya tidak mempunyai hak apapun atasnya dari hal nasab, waris, dan kewalian dan nafkah sesuai dengan zhahirnya bagian akhir dari hadits diatas yaitu : “…. Dan bagi (orang) yang berzina tidak mempunyai hak apapun (atas anak tersebut)”.

Berbeda dengan anak yang lahir dari hasil pernikahan yang sah, maka nasabnya kepada bapaknya demikian juga tentang hukum waris, wali dan nafkah tidak terputus sama sekali. Karena agama yang mulia ini hanya menghubungkan anak dengan bapaknya apabila anak itu lahir dari pernikahan yang sah atau lebih jelasnya lagi perempuan itu hamil dari pernikahan yang sah bukan dari zina. Wallahu a’lam [28]

Sebagian orang di negeri kita ini ada yang mengatakan : Tidak boleh perempuan yang hamil lantaran zina itu dinikahi hatta oleh laki-laki yang menzinai atau menghamilinya sampai perempuan itu melahirkan berdasarkan keumuman firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Artinya : Dan perempuan-perempuan yang hamil itu ‘iddah mereka sampai mereka melahirkan” [Ath-Thalaq : 4]

Kami jawab ; Cara pengambilan dalil seperti di atas sama sekali tidak tepat dalam menempatkan keumuman ayat dan cenderung kepada pemaksaan dalil.

Pertama : Ayat di atas untuk perempuan yang hamil dari hasil nikah bukan untuk perempuan-perempuan yang hamil dari hasil zina. Karena di dalam nikah itu terdapat thalaq, nafkah, tempat tinggal, ‘iddah, nasab, waris dan kewalian. Sedangkan di dalam zina tidak ada semuanya itu termasuk tidak adanya ‘iddah. Inilah perbedaan yang mendasar antara pernikahan dengan perzinaan. Ayat di atas tetap di dalam keumumannya terhadap perempuan-perempuan yang hamil yang dithalaq suaminya maka ‘iddahnya sampai dia melahirkan sesuai keumuman ayat di atas meskipun ayat yang lain (Al-Baqarah : 234) menegaskan bahwa perempuan-perempuan yang kematian suaminya ‘iddahnya empat bulan sepuluh hari. Akan tetapi perempuan tersebut ketika suaminya wafat dalam keadaan hamil maka keumuman ayat di ataslah yang dipakai. Atau ayat di atas tetap di dalam keumumannya oleh sebagian ulama terhadap perempuan yang berzina lalu hamil kemudian dinikahi oleh laki-laki yang bukan menghamilinya sebagaimana akan datang keterangannya di kejadian kelima. Wallahu a’lam.

Kedua : Telah terjadi ijma’ Shahabat bersama para ulama tentang bolehnya bagi seorang laki-laki menikahi perempuan yang dia hamili lantaran zina. Bacalah kembali keterangan-keterangan kami di muka mengiringi apa yang telah dikatakan oleh Imam Ibnu Abdil Bar bahwa dalam hal ini telah terjadi ijma’ ulama. Dan anehnya tidak ada seorang pun di antara mereka yang berdalil dengan ayat di atas untuk melarang atau mengharamkannya kecuali setelah perempuan itu melahirkan anaknya ?

Apakah kita mau mengatakan bahwa kita lebih pintar cara berdalilnya dari para Shahabat dan seterusnya?

[Disalin dari kitab Menanti Buah Hati Dan Hadiah Untuk Yang Dinanti, Penulis Abdul Hakim bin Amir Abdat, Penerbit Darul Qolam Jakarta, Cetakan I – Th 1423H/2002M]
__________
Foote Note
[17]. Baca juga Kitaabul Kaafi fi Fiqhi Ahlil Madinah (Juz 2 hal.542) oleh Imam Ibnu Abdil bar. Tafsir Fathul Qadir (1/446 tafsir surat An-Nisaa ayat 23) oleh Imam Asy-Syaukani.
[18]. Baihaqiy meriwayatkan dari jalan yang lain bahwa perempuan tersebut hamil (9/476) lihat juga Mushannaf Abdurrazzaq (12796).
[19]. Al-Muhalla Juz 9 hal 476.
[20]. Diriwayatkan Imam Abdurrazzaq (Mushannaf Abdurrazzaq (7/203-204 no. 12793) bahwa Umar mengundurkan hukuman kepada anak gadis tersebut sampai dia melahirkan.
[21]. Kebodohan disini maksudnya perbuatan maksiat yang dilakukan dengan sengaja. Karena setiap orang yang maksiat kepada Allah dikatakan jahil (tafsir Ibnu Katsir 2/590)
[22]. Imma kejadian ini satu kali dan masing-masing rawi membawakan satu ayat dari dua ayat yang dibaca Ibnu Mas’ud atau kejadian di atas dua kali. Wallahu a’lam
[23]. Lihat riwayat yang semakna di Mushannaf Abdurrazzaq (7/205 no. 12798)
[24]. Al-Mushannaf Abdurrazaq (7/203)
[25]. Idem (7/202) maksud perkataan Ibnu Abbas di riwayat 1 s/d 4 ialah bahwa zina itu haram sedangkan nikah itu halal, maka zina yang haram itu tidak bisa mengharamkan nikah yang memang halal. Karena sesuatu yang haram tidak bisa mengharamkan sesuatu yang halal.
[26]. Abdurrazzaq (7/206-207)
[27]. Bacalah kembali riwayat Umar bin Khaththab
[28]. Fatawa Islamiyyah (Juz 2 hal.353 dan 354, 374-375). Majmu Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (32/134-142). Al-Mughni Ibnu Qudamah (Juz 9 hal.529-530). Al-Muhalla (Juz 10 hal.323) Fathul Baari (Syarah hadits no. 6749). Tafsir Ibnu Katsir surat An-Nisaa ayat 23. Dan lain-lain.

Hamil diluar nikah dan masaalah nasab anak 2/4

[1]. Kejadian Yang Pertama : Apabila seorang perempuan [9] berzina kemudian hamil, maka anak yang dilahirkannya adalah anak zina dengan kesepakatan para ulama.

Anak tersebut dinasabkan kepada ibunya [10] dan tidak dinasabkan kepada laki-laki yang menzinai ibunya (bapak zinanya), tegasnya hubungan nasab antara anak dengan bapaknya terputus. Demikian juga dengan hukum waris terputus dengan bapaknya, dia hanya mewarisi ibunya dan ibunya mewarisinya. Demikian juga hak kewalian –kalau seorang anak perempuan- terputus dengan bapaknya. Yang menjadi wali nikahnya ialah sultan (penguasa) atau wakilnya seperti qadli (penghulu) [11]. Dan tidak wajib bagi bapaknya memberi nafkah kepada anak yang lahir dari hasil zina [12]. Akan tetapi hubungan sebagai mahram tetap ada tidak terputus meskipun hubungan nasab, waris, kewalian dan nafkah terputus. Karena biar bagaimanapun juga anak itu adalah anaknya, yang tercipta dari air maninya walaupun dari hasil zina. Oleh karena itu haram baginya menikahi anak perempuannya dari hasil zina sama haramnya dengan anak perempuannya yang lahir dari pernihakah yang shahih. Lebih luasnya lagi bacalah kitab-kitab dibawah ini:

[1]. Al-Mughni Ibnu Qudamah (Juz 9 hal. 529-530 tahqiq Doktor Abdullah bin Abdul Muhsin At-Turkiy)
[2]. Majmu Fatawa Ibnu Taimiyah (Jilid 32, hal. 134-152)
[3]. Majmu Syarah Muhadzdzab (Juz 15 hal. 109-113)
[4]. Al-Ankihatul Faasidah (Hal. 75-79 Abdurrahman bin Abdirrahman Sumailah Al-Ahsal).

[2]. Kejadian Yang Kedua : Apabila terjadi sumpah li’aan antara suami isteri.
Sebagaimana telah saya jelaskan dengan ringkas di fasal ketiga belas, maka anak dinasabkan kepada ibunya. Demikian juga tentang hukum waris dan nafkah serta hak kewalian. [13]

[3]. Kejadian Yang Ketiga : Apabila seorang isteri berzina
Apabila seorang isteri berzina –baik diketahui suaminya [14] atau tidak- kemudian dia hamil, maka anak yang dilahirkannya itu dinasabkan kepada suaminya bukan kepada laki-laki yang menzinai dan menghamilinya [15] dengan kesepakatan para ulama berdasarkan sabda Nabi yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Anak itu haknya (laki-laki) yang memiliki tempat tidur dan bagi yang berzina tidak mempunyai hak apapun (atas anak tersebut)” [Hadits shahih riwayat Bukhari no. 6749 dan Muslim no. 4/171 dari jalan Aisyah dalam hadits yang panjang. Dan Bukhari no. 6750, dan 6818 dan Muslim 4/171 juga mengeluarkan dari jalan Abu Hurairah dengan ringkas seperti lafadz di atas]

Maksud sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas ialah bahwa anak itu milik suami yang sah meskipun lahir dari hasil zina isterinya dengan orang (laki-laki) lain. Tetap anak itu menjadi miliknya dan dinasabkan kepadanya. Sedangkan bagi laki-laki yang menzinai isterinya tidak mempunyai hak apapun terhadap anak tersebut.

Kejadian di atas di luar hukum li’aan dan perbedaannya ialah ; Kalau hukum li’aan suami menuduh isterinya berzina atau menafikan anak yang dikandung isterinya di muka hakim sehingga dilaksanakan sumpah li’aan. Dalam kasus li’aan ini anak dinasabkan kepada isteri baik tuduhan suami itu benar atau bohong. Sedangkan pada kasus di atas tidak terjadi sumpah li’aan meskipun suami mengetahui bahwa isterinya telah berzina dengan laki-laki lain. Ini disebabkan suami tidak melaporkan tuduhannya ke muka hakim sehingga tidak dapat dilaksanakan sumpah li’aan.[16]

Oleh karena itu anak tetap dinasabkan kepada suami yang sah. Yang sering terjadi khususnya di negeri kita ini bahwa perselingkuhan isteri yang diketahui suami. Wallahu a’lam

[Disalin dari kitab Menanti Buah Hati Dan Hadiah Untuk Yang Dinanti, Penulis Abdul Hakim bin Amir Abdat, Penerbit Darul Qolam Jakarta, Cetakan I – Th 1423H/2002M]
__________
Foote Note
[9]. Gadis atau janda
[10]. Misalnya Fulan bin Fulanah atau Fulanah binti Fulanah
[11]. Al-Muhalla Ibnu Hazm Juz 10 hal 323 masalah 2013. Al-Majmu Syarah Muhadzdzab Juz 15 hal. 112. Majmu Fatawa Ibnu Taimiyyah 34/100
[12]. Tidak wajib maknanya tidak berdosa kalau dia tidak memberi nafkah, akan tetapi tidak juga terlarang baginya untuk memberi nafkah. Ini berbeda dengan anak dari pernikahan yang shahih, berdosa bagi seorang bapak kalau dia tidak memberi nafkah kepada anak-anaknya.
[13]. Fathul baari (no. 5315). Nailul Authar Juz 7 hal.91 dan seterusnya.
[14]. Dan suaminya tidak menuduh istrinya di muka hakim sehingga tidak terjadi hukum li’aan.
[15]. Meskipun anak yang dilahirkan istrinya itu mirip dengan laki-laki yang menzinainya.
[16]. Apabila seorang istri berzina atau suami berzina maka nikah keduanya tidak batal (fasakh) menurut umumnya ahli ilmu (Al-Mughni Juz 9 hal. 565)

Hamil diluar nikah dan masaalah nasab anak 1/4

Zina adalah dosa yang sangat besar dan sangat keji serta seburuk-buruk jalan yang ditempuh oleh seseorang berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Artinya : Dan janganlah kamu mendekati zina, karena sesungguhnya zina itu adalah faahisah (perbuatan yang keji) dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh oleh seseorang)” [Al-Israa : 32]

Para ulama menjelaskan bahwa firman Allah Subhanahu wa Ta’ala : “Janganlah kamu mendekati zina”, maknanya lebih dalam dari perkataan : “Janganlah kamu berzina” yang artinya : Dan janganlah kamu mendekati sedikit pun juga dari pada zina [1]. Yakni : Janganlah kamu mendekati yang berhubungan dengan zina dan membawa kepada zina apalagi sampai berzina. [2]

Faahisah adalah = maksiat yang sangat buruk dan jelek
Wa saa’a sabiila = karena akan membawa orang yang melakukannya ke dalam neraka.

Tidak ada perselisihan di antara para ulama bahwa zina termasuk Al-Kabaa’ir (dosa-dosa besar) berdasarkan ayat di atas dan sabda Nabi yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Apabila seorang hamba berzina keluarlah iman [3] darinya. Lalu iman itu berada di atas kepalanya seperti naungan, maka apabila dia telah bertaubat, kembali lagi iman itu kepadanya” [Hadits shahih riwayat Abu Dawud no. 4690 dari jalan Abu Hurairah]

Berkata Ibnu Abbas. : “Dicabut cahaya (nur) keimanan di dalam zina” [Riwayat Bukhari di awal kitab Hudud, Fathul Bari 12:58-59]

Dan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Dari Abi Hurairah, ia berkata : Telah bersabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidak akan berzina seorang yang berzina ketika dia berzina padahal dia seorang mukmin. Dan tidak akan meminum khamr ketika dia meminumnya padahal dia seorang mukmin. Dan tidak akan mencuri ketika dia mencuri padahal dia seorang mukmin. Dan tidak akan merampas barang yang manusia (orang banyak) melihat kepadanya dengan mata-mata mereka ketika dia merampas barang tersebut pada dia seorang mukmin” [Hadits shahih riwayat Bukhari no. 2475, 5578, 6772, 6810 dan Muslim 1/54-55]

Maksud dari hadits yang mulia ini ialah :
Pertama : Bahwa sifat seorang mukmin tidak berzina dan seterusnya.
Kedua : Apabila seorang mukmin itu berzina dan seterusnya maka hilanglah kesempurnaan iman dari dirinya”[4]

Di antara sifat “ibaadur Rahman” [5] ialah : ‘tidak berzina’. Maka apabila seorang itu melakukan zina, niscaya hilanglah sifat-sifat mulia dari dirinya bersama hilangnya kesempurnaan iman dan nur keimannya. [6]

Setelah kita mengetahui berdasarkan nur Al-Qur’an dan Sunnah Nabi yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa zina termasuk ke dalam Al-Kabaair (dosa-dosa besar) maka akan lebih besar lagi dosanya apabila kita melihat siapa yang melakukannya dan kepada siapa?

Kalau zina itu dilakukan oleh orang yang telah tua, maka dosanya akan lebih besar lagi berdasarkan sabda Nabi yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Ada tiga golongan (manusia) yang Allah tidak akan berbicara kepada mereka pada hari kiamat dan tidak mensucikan mereka dan tidak melihat kepada mereka, dan bagi mereka siksa yang sangat pedih, yaitu ; Orang tua yang berzina, raja yang pendusta (pembohong) dan orang miskin yang sombong” [Hadits shahih riwayat Muslim 1/72 dari jalan Abu Hurairah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti diatas]

Demikian juga apabila dilakukan oleh orang yang telah nikah atau pernah merasakan nikah yang shahih baik sekarang ini sebagai suami atau istri atau duda atau janda, sama saja, dosanya sangat besar dan hukumannya sangat berat yang setimpal dengan perbuatan mereka, yaitu didera sebanyak seratus kali kemudian di rajam sampai mati atau cukup di rajam saja. Adapun bagi laki-laki yang masih bujang atau dan anak gadis hukumnya didera seratus kali kemudian diasingkan (dibuang) selama satu tahun. Dengan melihat kepada perbedaan hukuman dunia maka para ulama memutuskan berbeda juga besarnya dosa zina itu dari dosa besar kepada yang lebih besar dan sebesar-besar dosa besar. Mereka melihat siapa yang melakukannya dan kepada siapa dilakukannya.

Kemudian, kalau kita melihat kepada siapa dilakukannya, maka apabila seorang itu berzina dengan isteri tetangganya, masuklah dia kedalam sebesar-besar dosa besar (baca kembali haditsnya di fasal kedua dari jalan Ibnu Mas’ud). Dan lebih membinasakan lagi apabila zina itu dilakukan kepada mahramnya seperti kepada ibu kandung, ibu tiri, anak, saudara kandung, keponakan, bibinya dan lain-lain yang ada hubungan mahram, maka hukumannya adalah bunuh. [7]

Setelah kita mengetahui serba sedikit tentang zina [8], dan dosanya, hukumannya di dunia di dalam syari’at Allah dan adzabnya di akhirat yang akan membawa para penzina terpanggang di dalam neraka, sekarang tibalah bagi kami untuk mejelaskan pokok permasalahan di dalam fasal ini yaitu hamil di luar nikah dan masalah nasab anak. Dalam fasal ini ada beberapa kejadian yang masing-masing berbeda hukumnya, maka kami berkata:

[Disalin dari kitab Menanti Buah Hati Dan Hadiah Untuk Yang Dinanti, Penulis Abdul Hakim bin Amir Abdat, Penerbit Darul Qolam Jakarta, Cetakan I – Th 1423H/2002M]
__________
Foote Note
[1]. Tafsir Al-Qurthubiy, Juz 10 hal. 253
[2]. Tafsir Ruhul Ma’aaniy Juz 15 hal. 67-68 Al-Imam Al-Aluwsiy Al-Baghdadi. Tafsir Bahrul Muhith Juz 6 hal. 33.
[3]. Yang dimaksud “kesempurnaan iman dan cahayanya” baca syarah hadits ini di Faidlul Qadir Syarah Jami’ush Shagir 1/367 no. 660
[4]. Lihat syarah hadits ini di Fathul Bari no. 6772 Syarah Muslim Juz.2 hal.41-45 Imam An-Nawawi. Kitabul Iman oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah hal.239, 240
[5]. Tafsir Ibnu Katsir surat Al-Furqan ayat 68
[6]. Lihatlah tentang permasalahan zina, kerusakannya, hukumannya, dosanya, siksanya di kitab Jawaaabul Kaafiy, hal. 223 -239 dan 240 – 249 oleh Al-Imam Ibnul Qayyim
[7]. Tafsir Ibnu Katsir surat An-Nisaa ayat 22
[8]. Keluasan masalah zina dapat dibaca dan diteliti di kitab-kitab fiqih dan syarah hadits.

Monday, February 23, 2009

Qunut Di Setiap Solat Fardhu Subuh

Definisi Qunut

Kata qunut digunakan untuk beberapa makna, di antaranya: berdiri, diam, rutin beribadah, doa, tasbih dan khusyu’. Menurut istilah, ialah nama untuk suatu doa yang diucapkan di dalam solat pada waktu tertentu di ketika berdiri. (Rujuk: Abu Malik Kamal as-Sayyid Salim, Shahih Fiqh Sunnah, jil. 2, m/s. 33, terbitan Pustaka at-Tazkia)

Pendapat Imam an-Nawawi

Imam an-Nawawi rahimahullah berkata:

“Ketahuilah bahawa qunut di waktu solat subuh adalah sunnah berdasarkan hadis sahih


عن أنس (رضي الله عنه): أن رسول الله (صلى الله عليه وسلم) لم يزل يقنت في الصبح حتى فارق الدنيا

Daripada Anas radhiyallahu ‘anhu, katanya: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam sentiasa melakukan qunut di waktu solat subuh sehingga beliau wafat.”

Diriwayatkan oleh al-Hakim Abu ‘Abdillah di dalam kitab al-Arba’in, lalu dia berkata: “Hadis sahih”. Ketahuilah bahawa qunut subuh menurut kami adalah disyari’atkan, ia merupakan sunnah muakkad (yang sangat dituntut). Sekiranya seseorang meninggalkannya maka solatnya tidak batal akan tetapi dia perlu melakukan sujud shahwi, sama ada dia meninggalkannya dengan sengaja atau pun kerana terlupa.” (Rujuk Kitab al-Adzkar an-Nawawiyyah, Bab Qunut Subuh, hadis no. 171)

Komentar Terhadap Pendapat Imam an-Nawawi

1 - Hadis ini (yang digunakan oleh imam an-Nawawi) adalah hadis yang dhoif, tidak sahih, walau pun al-Hakim dan an-Nawawi mensahihkannya.

Hadis ini dhoif disebabkan perawi yang bernama Abu Ja’far ar-Razi yang meriwayatkan hadis ini dari jalan ar-Rabi’ dari Anas. Ibnul Qayyim telah menjelaskan persoalan ini secara panjang lebar di dalam kitabnya, Zaadul Ma’ad (1/99-100) dan al-Hafiz Ibnu Hajar al-‘Asqalani di dalam at-Talkhis (3/417-418) serta lainnya. (Rujuk: Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, Sifat Solat Nabi (judul asli: Ashlu Shifati Sholatin Nabiy), jil. 3, m/s. 201, terbitan Griya Ilmu)

2 – Sanad hadis ini dhoif, illatnya (penyebabnya) adalah Abu Ja’afar ar-Razi, iaitu ‘Isa bin Haman, hafalannya buruk. (Rujuk: Syaikh Salim ‘Ied al-Hilali, Shahih dan Dhoif Kitab al-Adzkar (judul asli: Shahih Kitab al-Adzkar wa Dha’ifuhu), jil. 1, m/s. 193, terbitan Pustaka Imam asy-Syafi’i)

3 – Hadis ini diriwayatkan oleh Abdur Razzaq, no. 4964, Ibnu Abi Syaibah, no. 7002, Ahmad 3/162, at-Thahawi di dalam al-Ma’ani, 1/244, ad-Daruquthni, 2/39, al-Hakim di dalam al-Arba’in, al-Baihaqi, 2/201, al-Baghawi, no. 639, dari beberapa jalan, dari Abu Ja’afar ar-Razi, dari ar-Rabi’ bin anas, dari Anas dengan hadis tersebut.

Abu Ja’afar adalah rawi yang jujur akan tetapi hafalannya buruk, rawi sepertinya hanya layak pada hadis yang syahid (yang memiliki penguat). Jika tidak, maka hadisnya dhoif. Hadis ini memiliki syawahid (beberapa penguat) yang disebutkan oleh ad-Daruquthni dan al-Baihaqi, akan tetapi semuanya sangat lemah sekali, tidak layak untuk diperhatikan, kemudian ianya bertentangan pula dengan riwayat yang juga dari Anas yang sahih bahawa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tidak berqunut, melainkan apabila beliau berdoa untuk kebaikan atau kebinasaan sesuatu kaum.

Hadis ini didhoifkan oleh Ibnul Jauzi, Ibnu Taimiyah, Ibnu at-Turkumani, Ibnul Qayyim, dan al-Albani, dan az-Zaila’i cenderung kepadanya. Al-Asqalani (al-Hafiz Ibnu Hajar al-Asqalani) berkata: “Hujjah tidak tertegak dengan hadis seperti ini”. (Rujuk: Syaikh Amir bin Ali Yasin, al-Adzkar an-Nawawiyah, m/s. 172, terbitan Pustaka Sahifa)

4 – Sebuah persoalan yang perlu kita perhatikan adalah sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh Amir bin Ali Yasin:

“Saya berkata: Telah jelas bagimu bahawa hadis yang mereka jadikan sebagai sandaran dalam mensyari’atkan qunut subuh adalah dhoif dan mungkar. Jadi ia tidak dianjurkan, bahawa melakukannya secara terus menerus adalah sesuatu yang dibuat-buat (diada-adakan) dan itu adalah perbuatan yang dibenci. Sekiranya kita menerima bahawa hadis tersebut sebagai sahih sekalipun, maka, di mana dalil yang menunjukkan bahawa qunut subuh itu dengan lafaz “Allahummah dini fii man hadait

(اَللَّهُمَّ اهْدِنِيْ فِيْمَنْ هَدَيْتَ، وَعَافِنِيْ فِيْمَنْ عَافَيْتَ)...”?

Sekiranya kita menerima bahawa hadis tersebut sahih, lalu di mana pula dalilnya yang menunjukkan bahawa meninggalkannya mengharuskan sujud shahwi? Ini adalah tiga mukaddimah yang tidak mampu mereka dukung dengan dalil.” (Rujuk: Syaikh Amir bin Ali Yasin, al-Adzkar an-Nawawiyah, m/s. 172, terbitan Pustaka Sahifa)

5 - Pendapat Sayyid Sabiq rahimahullah:

“Qunut di dalam solat subuh itu tidak disyari’atkan kecuali apabila terjadi bahaya. Dan sekiranya terjadi bahaya tersebut, maka bukan hanya di dalam solat subuh saja disunnahkan berqunut, tetapi juga di dalam semua solat fardhu...” (Rujuk: Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, jil. 2, m/s. 43, terbitan Victory Agencie)

6 – Penggunaan hadis dari Anas oleh mereka yang bertujuan mensyari’atkan qunut di setiap solat fardhu subuh tersebut sebenarnya dibantah dengan hadis yang datangnya juga dari Anas. Daripada Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu:

“Bahawasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam itu tidak pernah berqunut di dalam waktu subuh melainkan bagi tujuan mendoakan kebaikan bagi sesuatu kaum (muslimin), atau mendoakan kebinasaan sesuatu kaum (kafir).” (Hadis Riwayat Ibnu Hibban, al-Hafiz Ibnu Hajar al-Asqalani mensahihkan sanadnya. Rujuk: al-Dirayah fi Takhrij Ahadis al-Hidayah, jil. 1, m/s. 195)

Dengan hadis yang sahih ini, sekaligus ia menjelaskan pegangan sebenar Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkenaan qunut subuh. Oleh itu, hadis ini secara tidak langsung telah menolak hadis di atas yang dijadikan hujjah untuk mensyari’atkan qunut di dalam setiap solat subuh.

Kesimpulan/Ringkasan Pendapat:

1 – Telah tsabit daripada hadis-hadis yang sahih bahawa doa Qunut yang dilakukan di dalam solat fardhu adalah doa qunut nazilah yang bertujuan mendoakan kebaikan (keselamatan) bagi kaum muslimin, atau mendoakan kebinasaan bagi kaum kafir (yang memerangi/memusuhi) umat Islam.

Dan ianya tidak semestinya dilakukan hanya di ketika waktu solat subuh.

2 – Doa dengan lafaz “Allahummah dini fiiman hadait...

(اَللَّهُمَّ اهْدِنِيْ فِيْمَنْ هَدَيْتَ، وَعَافِنِيْ فِيْمَنْ عَافَيْتَ)”

adalah lafaz doa qunut yang dibaca di dalam solat witir, bukannya solat fardhu subuh.

3 - Syaikh Dr. Sa’id Wahf bin Ali al-Qahthani berkata,

“Telah diriwayatkan dengan sahih dari nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, bahawa beliau melakukan qunut Nazilah selama sebulan, berdoa melaknat satu kaum. Teriwayat dengan sahih bahawa beliau berdoa untuk kaum yang lemah dari kalangan para sahabat beliau yang ditawan oleh satu kaum sewaktu mereka berhijrah. Ketika penyebab beliau melakukan qunut tersebut sudah tidak ada lagi, beliau pun meninggalkannya. Nabi tidak pernah melakukan qunut secara rutin dalam solat wajib yang manapun, solat subuh atau solat yang lainnya. Demikian juga halnya dengan para Khulafa’ur Rasyidin. Mereka melakukan qunut tersebut dengan cara yang sama. Mereka tidak pernah melakukannya secara rutin. Namun jika penyebab qunut itu sudah tidak ada, mereka meninggalkan qunut tersebut. Apa yang sunnahnya (yang tsabit dari sunnah) adalah melakukan qunut Nazilah dan berdoa berdasarkan kepada keadaan, iaitu untuk mendoakan kebaikan bagi suatu kaum, atau untuk melaknat mereka, dan disesuaikan juga dengan bencana yang terjadi.

Diriwayatkan dengan sahih bahawa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pernah melakukan qunut pada solat subuh, zuhur, asar, maghrib dan isya’. Namun perlaksanaan di dalam solat Subuh dan Maghrib adalah lebih ditekankan. Ketika penyebab qunut itu sudah tidak ada, beliau pun meninggalkannya, termasuk juga pada solat subuh.” (Rujuk: Syaikh Dr. Sa’id ‘Ali bin Wahf al-Qahthani, Kumpulan Shalat Sunnah Dan Keutamaannya, m/s. 75, Terbitan Darul Haq, Cet. Ketujuh – Feruari 2007M)

4 – Tiada dalil yang boleh dijadikan sandaran bagi mensyari’atkan doa qunut di dalam setiap kali solat fardhu subuh.

Wallahu a’lam...

fiqh-sunnah.